Rumitnya Birokrasi Kesehatan Mengancam Nyawa Orang Rimba
Penulis: Albanus Bagus Prasojo Nefo dan Alberta Prabarini | Foto: Albanus Bagus Prasojo Nefo, Alberta Prabarini, gudangilmu.farmasetika.com
Rumitnya Birokrasi Kesehatan Mengancam Nyawa Orang Rimba
Penulis: Albanus Bagus Prasojo Nefo dan Alberta Prabarini | 12 November 2024
Tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional. Bermula pada tahun 1964, Kementerian Kesehatan menandai keberhasilannya dalam penanganan wabah malaria di Lampung, Jawa, dan Bali melalui cairan insektisida DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) dan berhasil menyelamatkan 63 juta nyawa dari penyakit mematikan itu. Enam puluh tahun setelahnya, di sebuah kota kabupaten bernama Bangko (Sumatera), terdapat fenomena kesehatan yang tak kalah genting.
Pada pertengahan September 2024, Melak membawa kabar mengenai pemutusan layanan kesehatan gratis bagi Orang Rimba yang hendak berobat ke RSUD Kolonel Abundjani Bangko. Padahal selama ini, paling tidak sejak 2018, Orang Rimba dapat mengakses pelayanan kesehatan secara gratis terutama bagi mereka yang masuk dalam kondisi gawat darurat seperti kecelakaan, kritis karena batuk, diare, dan lain sebagainya. RSUD Bangko adalah rumah sakit pemerintah terdekat dari rimba Makekal Hulu, dapat ditempuh paling cepat dua jam bermotor dari tepi hutan. Melak sendiri adalah anak Kepala Adat Orang Rimba Makekal Hulu yang sedang membantu proses administrasi keponakannya yang sedang berada di rumah sakit. Karena kebijakan baru dan mendadak itu, Melak dan pihak keluarga memutuskan untuk melakukan pengobatan rawat jalan saja bagi pasien.
Mendengar kabar itu, pada 26 September 2024, Pengendum dan Nengkabau yang merupakan anggota organisasi pemuda Orang Rimba KMB (Kelompok Makekal Bersatu) berinisiatif mengunjungi kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat dan menanyakan bagaimana kebijakan ini bisa berlaku tanpa adanya sosialisasi. Hasil yang didapatkan hanya saran agar Suku Anak Dalam–demikian mereka menyebut Orang Rimba–segera membuat Kartu Indonesia Sehat (KIS) jika ingin tetap mendapat pelayanan gratis di rumah sakit. Tidak puas dengan jawaban ini, pada 7 Oktober 2024, Bediri yang juga anggota KMB mendatangi kantor Dinas Sosial (Dinsos) untuk menanyakan bagaimana prosedur proses pembuatan KIS bagi Suku Anak Dalam. Dinsos, melalui kepala bagian Pemberdayaan Usaha dan Kesejahteraan Sosial, Gatot menyatakan bahwa informasi terkait pembayaran di rumah sakit bagi Suku Anak Dalam yang tidak mempunyai kartu kesehatan ini sudah disosialisasikan sebelumnya kepada 24 ketemenggungan di Kabupaten Merangin. Azrul Affandi, Kasi Komunitas Adat Terpencil dari Dinas sosial mengungkapkan bahwa biaya berobat gratis yang selama ini diberikan oleh Suku Anak Dalam itu merupakan peraturan dari Bupati. Sekarang, peraturan itu tidak diperpanjang lagi.
Di luar fakta bahwa Orang Rimba di Makekal Hulu tidak mendapatkan sosialisasi mengenai perubahan kebijakan ini, proses pembuatan KIS sendiri, membutuhkan beberapa tahap yang harus dilalui. Dimulai dari pengurusan Kartu Keluarga dan KTP (karena sebagian Orang Rimba belum memiliki KK dan KTP) dengan mendaftarkan ke kantor desa, pendataan, perekaman di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dan pengecekan titik koordinat lokasi tempat tinggal. Setelah KK dan KTP didapat, mereka baru dapat melakukan pendaftaran KIS, proses menunggu percetakan, dan akhirnya pengambilan kartu. Ketika KIS sudah jadi, masih ada tahap-tahap tertentu yang harus dilakukan karena menurut Gatot, jika selama satu tahun tidak digunakan, maka KIS otomatis dinonaktifkan dari pusat. Untuk mengecek masa aktifnya harus ke kantor desa, rumah sakit, atau melalui aplikasi khusus. Beliau juga mengatakan bahwa Suku Anak Dalam harus rajin mengecek kondisi kesehatan tiga atau enam bulan sekali agar kartu kesehatan tidak dinonaktifkan.
Kisah berikutnya terjadi pada 17 Oktober 2024. Besampang, Orang Rimba asal Sungai Gemuruh, kawasan hutan Makekal Hulu, mengalami kecelakaan. Pagi itu pukul 9.00, Besampang ditemani anaknya hendak memotong dahan yang condong karena takut akan menimpa rumah. Saat memotong dahan itulah, ia Jatuh dari ketinggian kurang lebih 20 meter. Berada di hutan tanpa ada layanan kesehatan serta akses jalan menuju kota yang buruk, menyebabkan Besampang baru tiba di rumah sakit Bangko pada pukul 23.00 WIB.
Hal yang sama pernah terjadi juga pada Setinggang dari Simpang Meranti pada awal tahun ini. Ia jatuh dari pohon sempayang saat hendak memanen buahnya. Untunglah ia berhasil diselamatkan berkat kerja baik dari RSUD Bangko. Berbeda dengan Setinggang, Besampang tidak dapat segera ditangani karena perubahan kebijakan yang baru diketahui. Pihak RSUD berposisi, jika Besampang tidak memiliki BPJS atau KIS, maka keluarganya harus membayar secara mandiri atau tidak dibantu sama sekali. Kesialan itu belum selesai. Setelah menyetujui pembayaran mandiri, RSUD Bangko menyatakan bahwa Besampang harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar seperti RSUD Muara Bungo atau RSUD Jambi, juga dengan biaya mandiri, tanpa ada celah untuk melanjutkan dengan skema BPJS. Pihak RSUD Bangko juga mengabari kalau di kedua rumah sakit tadi sedang tidak ada ruang inap kosong dan akan dihubungi lebih lanjut karena pendaftaran rujukan harus dilakukan secara daring dan membutuhkan waktu. Maka, dengan seluruh pertimbangan yang amat sangat berat, akhirnya Besampang dengan kondisinya yang kritis itu dirawat di RSUD Bangko sambil menunggu informasi ruangan dari rumah sakit lain.
Esoknya, 18 Oktober 2024, melihat kondisi Besampang yang masih kritis dan kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk melakukan pembiayaan mandiri, Nengkabau dengan ditemani relawan Sokola Nefo memutuskan untuk kembali mencari bantuan ke tiga tempat, yakni Dinkes, Dinsos, dan Dinas Dukcapil. Berikut kronologi dari catatan lapangan yang ditulis oleh Nefo:
Pertama, kunjungan kami ke Dinas Sosial. Di sana tidak ada orang untuk ditemui terkait pengurusan administrasi Orang Rimba, padahal kami kesana sesuai dengan jam kantor. Pihak petugas yang sedang berada di ruangan Pemberdayaan, Usaha, dan Kesejahteraan Sosial Dinsos mengatakan bahwa sebenarnya ada tiga orang yang bisa ditanyakan terkait data Suku Anak Dalam, tetapi semuanya sedang tidak hadir pada saat itu. Berikutnya, kami mengunjungi Dinas Kesehatan. Di sana, salah satu petugas cukup memberi solusi. Ia menyarankan agar kami langsung menuju Dukcapil untuk mencetak kartu keluarga orang yang sedang sakit dengan menyebutkan nama pasien yakni Besampang. Akhirnya kami ke Dukcapil. Kepada petugas Dukcapil Ibu Pety, kami menjelaskan bahwa ada pasien yang darurat dan harus mendapat pelayanan segera, dan bahwa tujuan kami ke sini untuk mencetak kartu keluarga Besampang agar pihak rumah sakit dapat mengetahui apakah dia sudah terdaftar di layanan kesehatan atau belum. Hasil yang didapat adalah pendataan dari Dukcapil tidak benar-benar valid, bahkan dari penulisan nama yang salah. Pada KK, nama Besampang ditulis sebagai Besambung. Kartu keluarga itu sendiri tertulis masih “draft” sementara, padahal menurut pihak keluarga, sudah lama Besampang mendapatkan bantuan BLT.
Seminggu sebelum Besampang jatuh, Betuju hanya bisa terdiam mendengar kabar rumah sakit harus berbayar. Anaknya sudah lama menderita penyakit kuning yang parah. Biasanya, saat sedang kambuh, keluarga membawanya ke rumah sakit lantaran masih ada kebijakan pengobatan gratis khusus Suku Anak Dalam. Malam itu, Bediri yang sebelumnya sudah mengetahui skema baru ini berangkat ke rumah sakit untuk membantu Betuju yang kebingungan menghadapi proses administrasi. Bagi komunitas Orang Rimba yang sangat jauh dari akses informasi, birokrasi, dan pelayanan publik, penerapan kebijakan tersebut terasa sangat mendadak. Tidak ada yang mendengar kabar itu sebelumnya sekalipun katanya sosialisasi telah dilakukan di 24 ketemenggungan. Kurangnya informasi, panjangnya tahapan pembuatan kartu kesehatan, serta ketakutan proses bayar-membayar dan ketidakramahan birokrasi membuat Betuju lamban membawa anaknya ke rumah sakit. Alhasil nyawa anak Betuju tidak bisa tertolong.
Persis setahun yang lalu, sebuah berita dari Liputan 6 menuliskan “121 Warga Baduy Dalam dan Luar Terima Kartu BPJS Kesehatan, Pemerataan Akses bagi Masyarakat Adat” dengan foto enam warga Baduy sedang memegang papan bergambar kartu BPJS. Program tersebut merupakan terusan dari misi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan kerja sama antara Kemenkes, Kemensos, dan Kemendagri. Tentu kebijakan itu diharapkan menjadi titik terang bahwa akhirnya pemerintah memiliki kiat untuk memenuhi hak kesehatan masyarakat adat walau harus menunggu hingga 10 tahun semenjak JKN diluncurkan pada tahun 2014. Namun, rasa-rasanya hal tersebut hanya sekedar tokenisme, di mana Baduy sering kali menjadi ’lokasi mejeng’ pemerintah untuk peluncuran program-program yang seolah berpihak pada masyarakat adat. Kenyataannya, masyarakat adat yang berada di tengah-tengah Pulau Sumatera pun kelimpungan mengakses bantuan dan layanan kesehatan.
Seiring dengan perubahan ruang hidupnya, Orang Rimba terpapar dengan beragam penyakit baru antara lain batuk berat, muntaber, maag, penyakit kuning, atau kecelakaan. Beberapa penyakit seperti batuk sebenarnya sudah menjadi bagian dari keseharian Orang Rimba sejak dulu. Namun, tahun-tahun belakangan, terdapat fenomena batuk berdarah parah yang menimpa baik orang dewasa maupun anak-anak. Begitu juga dengan muntaber yang kian marak, disebabkan konsumsi air sungai di kawasan perkebunan sawit yang jelas terkontaminasi pupuk dan zat kimia berbahaya lainnya. Penyakit-penyakit tersebut memerlukan tindakan langsung dari dokter dan layanan kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Sementara, hak mereka sebagai warga negara untuk mendapat pelayanan kesehatan terhambat proses pendataan dan birokrasi yang rumit.
Selamat merefleksikan (bukan merayakan) Hari Kesehatan Nasional tahun 2024. Hari ini, kami menuntut berbagai pihak yang terlibat dalam kesedihan cerita-cerita serupa untuk bekerja lebih keras dengan hati dan pikiran, supaya masyarakat adat tidak terus menerus bernasib buruk, hanya karena mereka lahir dan tinggal di Indonesia.