Teks: Alberta Prabarini | Foto: Beatrix Gracella, Anindita Dipta Aditya
Penulis: Alberta Prabarini | 20 Maret 2025
Nengkabau kembali mengingat sebuah malam di musim behuma padi, mengenang bagaimana dongeng-dongeng mengiringi masa kecilnya dan menghadirkan kebersamaan dalam keluarganya. Saat itu, padi telah menguning, dan Orang Rimba bergantian menjaga huma dari ancaman pemangsa: beruk di siang hari, serta babi, landak, tikus, dan musang di malam hari. Di siang hari, anak-anak yang tidak memiliki banyak pekerjaan ikut berjaga bersama beberapa orang dewasa. Namun, malam membawa kehangatan tersendiri: mereka semua berkumpul dalam lingkaran, menaruh perhatian penuh pada suara rerayo, orang yang dituakan dalam adat, menyulam kisah-kisah baik dari cerita keseharian, sejarah, dan juga dongeng. Malam itu, Nengkabau duduk bersama saudara-saudarinya yakni Pico, Menosur, Ngundang, dan Bedago untuk mendengar dongeng ular godong (ular besar) dari ayahnya, Bepak Nguncang.
“Pada suatu hari, ada pasangan suami istri Orang Rimba, di mana si istri tengah mengandung. Saat itu, mereka merayakan proses beselang, yakni dibukanya huma padi untuk ditanami, dan mengadakan pesta. Namun, si istri yang sedang hamil tidak berselera makan. Ia malah meminta suaminya mencari buah salok (semacam buah salak), yang hanya tumbuh di hutan lebat. Pergilah si suami mencari buah itu, hingga akhirnya ia menemukannya. Ternyata pohon itu milik seekor ular besar, ular godong mereka menyebutnya. Ular godong awalnya enggan memberikan buah itu, tapi setelah bernegosiasi, ia menyetujui dengan satu syarat: jika anak yang lahir nanti kembar, maka mereka harus diserahkan kepada si ular. Dengan hati bimbang, si suami membawa pulang buah salah dan menyampaikan perjanjiannya pada istrinya. Waktu berlalu, dan saat kelahiran tiba, ternyata istrinya melahirkan anak kembar. Ketakutan menyergap mereka. Sang suami pun membangun rumah kayu tinggi agar keluarganya aman. Tapi ular godong, dengan tubuhnya yang panjang dan kuat, tetap bisa mencapai mereka. Terbukti, ketika kedua anak itu beranjak besar, ular godong datang menagih janji. Dengan berat hati, si kembar diserahkan. Namun, kedua anak tersebut berhasil kabur dengan cara menusuk si ular dan akhirnya kembali ke rumah bersama kedua orang tuanya. Selesai.”
Di Rimba, hampir semua pengetahuan diwariskan secara lisan, termasuk mendongeng yang disampaikan dengan gerakan dan intonasi khas untuk menghidupkan cerita. Kebiasaan berkumpul di halaman rumah untuk berbagi kisah menjadi momen yang dinantikan, baik oleh anak-anak maupun orang dewasa, terutama saat malam hari ketika bulan bersinar penuh dan terang. Bahkan, untuk menjadi seorang Temenggung atau pemimpin dalam pemerintahan, seseorang harus mampu menghafal sejarah Rimba yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang konon diceritakan selama tujuh hari tujuh malam.
Nengkabau menutup kenangannya dengan sebuah angan, “Ee seandainye ake lah ado anak, ake laday becererita mumpa iyoy, senang rasonye kan.” (Seandainya aku sudah punya anak, aku akan senang menceritakan dongeng-dongeng seperti waktu aku kecil)
Selamat Hari Dongeng Sedunia!