Kemalomon Kamia
Teks dan Foto: Albanus Bagus Prasojo Nefo
Kemalomon Kamia
Penulis: Albanus Bagus Prasojo Nefo | 14 Februari 2025
Pagi itu, dingin menyelimuti kemalomon. Gerimis kecil sisa semalam, penyebabnya. Aku sudah terjaga, tetapi aku memilih bersembunyi di balik kain tenun pemberian ibuku ketika aku akan berangkat ke rimba. Betiang, Pelimbar, dan Ngalir masih tertidur lelap di sampingku. Aku mengumpulkan nyawa dan menyadarkan diri bahwa aku sedang berada di bawah pohon sawit.
“Guding, Mika la tejego?” terdengar suara dari belakang kemalomon kami, menanyakan apakah kami sudah terbangun. Aku membuka sedikit mataku untuk melihat dari balik kain siapa yang datang. Anak kecil dengan baju setengah basah dan celana merah datang membawa sehelai piring yang dibalut daun. Ia adalah Midi, salah seorang murid Sokola Rimba. Aku kembali memasukkan kepala ke dalam kain agar ia mengira bahwa kami semua memang belum terjaga dan membiarkannya datang. Dari dalam kain, aku bisa memastikan bahwa Midi mengambil kayu kering tepat di bawah kakiku, membersihkan nesting bekas kami memasak tadi malam, menghidupkan api, lalu membuka tempat gula dan kopi. Midi beberapa kali memanggilku dan yang lainnya agar kami segera terjaga. Beberapa menit kemudian, dia diam tanpa pergerakan. Aku membuka mataku pelan-pelan, masih dari balik kain. Saat itulah Midi mengetahui pergerakanku dan langsung menarik kainku. Meski terlihat kesal karena aku tidak segera terjaga, Midi menawarkan minuman hangat yang baru dibuatnya. Rupanya, ia datang membawa daging hasil buruan dari orang tuanya untuk kami sarapan pagi.
Kejadian pagi itu mengingatkanku pada masa awal berada di rimba. Saat itu, aku belum banyak mengenal orang dan masih merasa takut. Tepatnya di nuaron atau di dalam hutan Bukit Duabelas yang ditumbuhi banyak pohon buah-buahan. Saat itu aku sedang bersama Pico, salah satu kader Sokola. Matahari belum tuntas memunculkan dirinya, tetapi sesudungon kami sudah dipenuhi oleh induk-induk dan juga anak-anak. Semacam kebiasaan yang kutemui selama berapa hari di sini. Setiap pagi, mereka berkumpul dan menyusun rencana akan melakukan apa hari ini, memastikan bahwa anak-anak mereka yang tertidur di kemalomon kami aman, berbincang soal apapun yang sedang terjadi di sekitar mereka. Tak berapa lama, Pico dan beberapa laki-laki memutuskan untuk pergi mengepung babi. Karena belum terlalu akrab dan takut merepotkan, aku memutuskan untuk tidak ikut dan menunggu di rumah saja. Beberapa anak yang usianya di atas sepuluh tahun ikut mengepung babi, sementara anak-anak lainnya pulang ke kemalomon induknya untuk membantu masak, mencari kayu, atau kegiatan lainnya.
Suasana pagi itu berubah menjadi sepi setelah semua orang bergerak dengan aktivitasnya masing-masing, Tinggallah aku sendiri bersama kayu bakar, peralatan masak, dan buku-buku yang berserakan sisa kami belajar semalam. Aku membuka karung yang berisi bahan makanan lalu menghangatkan air dan membuat kopi panas untuk teman roti sarapanku. Tidak lama setelah aku selesai menghabiskan roti, datang anak kecil dengan wajah polos dan ingus yang berada tepat di pangkal hidungnya. Tangannya menggenggam ubi rebus yang sedang ia habiskan. Dia adalah Meriang, anak rimba berusia sekitar lima tahun. Meskipun ia tinggal bersama rombong tempat kami bermalam, tetapi aku belum sempat berkenalan karena ia selalu menghindar setiap kuajak berbincang, bahkan pergi meninggalkanku. Mungkin ia masih merasa takut.
Meriang tampak terduduk dan mengamatiku dari agak kejauhan. Aku mencoba mendekati dan mengajaknya berbincang. Suasana menjadi cair. Meriang mulai mau berbicara denganku dan akhirnya ia mengatakan alasannya datang. Ia dititipi pesan oleh induknya dan juga Pico untuk menemaniku saat orang-orang pergi beraktivitas.
Selama tinggal bersama komunitas, aku selalu mendapatkan hal-hal tak terduga dari mereka. Daging yang dibawa oleh Midi adalah satu dari sekian banyak makanan yang aku dapatkan di rimba. Hampir semua hewan seperti kijang, kancil, burung, rusa, tikus, katak, lelabi (sejenis kura-kura), babi, keong, ikan, dan buah-buahan, pernah dibagikan kepadaku. Tentu daging dan makanan itu bukan sekadar untuk mengenyangkan perutku dan anak-anak lain. Lebih dari itu, mereka seolah ingin berbicara, “Seperti inilah kehidupan Orang Rimba, siapapun yang tinggal di sekitar kami harus mendapatkan bagian dari apa yang kami dapatkan, walaupun hanya sedikit.” Meriang si anak ingusan yang datang secara tiba-tiba pagi itu juga bukan serta-merta anak kecil yang sedang menghabiskan ubi rebus sambil terdiam melihatku. Lebih dari itu, induk-induk seolah ingin mengatakan, “Siapa saja yang bertamu dan tinggal bersama kami, tidak boleh kesepian, merasa ditinggalkan dan ketakutan. Anak kecil Orang Rimba pun bisa menjaga dirimu karena kemampuan dasar yang ia miliki sejak kecil tinggal di dalam hutan. Tetaplah tenang dan merasa aman.”
Sungguh meleset jauh dari pandangan orang di luar sana ketika aku akan pergi ke komunitas Orang Rimba untuk pertama kalinya, orang-orang di sekitarku yang menceritakan bagaimana menakutkannya mereka. Dengan tinggal bersama komunitas, aku merasa bahwa kami harus bisa saling menjaga secara dua arah, bentuknya bisa pemberian logistik, menunjukan sikap yang partisipatif dan kegiatan kecil kolektif lainnya.