Mengenali Keunikan Fonetis dan Kedaulatan Bahasa Ibu

Teks: Butet Manurung | Foto: Tim Sokola

Mengenali Keunikan Fonetis dan Kedaulatan Bahasa Ibu

Penulis: Butet Manurung | 21 Februari 2025

“C-U?” tanyaku, mencoba mengajak seorang anak membaca suku kata pertama dari kata “CUCI”.

“JU,” jawabnya.

Aku mencoba lagi dengan kata lain. “Kalau T-I?” dari kata TIMIKA.

Jawabnya, “JIMIKA,” atau terdengar seperti “CIMIKA” di telingaku.

Aku penasaran. Kucoba dengan kata lain, hasilnya sama. Aku ganti ke anak lain, ternyata tetap begitu. “Ada apa ini?” pikirku. Aku bertanya kepada anggota timku yang lain, juga kepada pastor dan tokoh masyarakat di sana. Ternyata, mereka memang secara konsisten mesubstitusi huruf T, J, dan C dalam pengucapan mereka.

 

Peristiwa ini terjadi ketika kami merintis program literasi di Kampung Mumugu Batas Batu, Kabupaten Asmat, Papua. Jika diperhatikan, ada beberapa tahap translasi yang terjadi di sini: dari apa yang kutulis, bagaimana mereka membacanya, bagaimana mereka mengucapkannya, dan bagaimana aku mendengarnya. Bisa jadi ada bagian yang lost in translation—keliru dalam salah satu prosesnya. Aku mulai bertanya-tanya, bagaimana jika justru telingaku yang salah? Bagaimana jika kami sebenarnya sama-sama benar tetapi hanya memahami bunyi dengan cara yang berbeda? Bagaimana jika dalam kaidah fonologi masyarakat Asmat; C, J, dan T bukanlah tiga bunyi yang berbeda, melainkan hanya satu jenis bunyi (fonem) yang sama?

Aku teringat seorang teman dari Norwegia yang pernah mengajariku berbagai cara mengucapkan huruf "Ø“ yang menyerupai “O" dalam bahasa mereka. Sulit sekali, hingga akhirnya ia menyerah. Dalam alfabet Norwegia, setelah 26 huruf Latin, ada tambahan tiga huruf lagi yakni: ᴂ, Ø, dan å. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Secara nasional, kita hanya mengadopsi 26 huruf Latin. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan bahasa terkaya nomor dua di dunia, yakni 715 bahasa yang digunakan saat ini yang masing-masing memiilki kekhasan. Bahasa Sunda saja memiliki tiga jenis pengucapan huruf "E" yakni 'É' (taléng) seperti dalam "pergi", 'E' (pepet) seperti dalam "ember", dan 'EU' (teuleung) seperti dalam "peuyeum". Itu berarti bahasa Sunda memiliki tujuh vokal. Belum lagi pengucapan dalam dialek yang berbeda, misalnya dalam bahasa Sunda “fakultas” menjadi “pakultas” atau “presiden” menjadi “fresiden”.

 

Demikian bahasa Jawa, ada kata-kata yang diawali dengan huruf "T" tetapi sering kali aku diprotes oleh teman-teman dari Jawa karena tidak mengucapkannya dengan benar. Atau di Makassar, di mana "ikan" diucapkan menjadi "ikang" dan "pisang" menjadi "pisan". Fenomena ini terjadi di banyak tempat, menandakan bahwa pengucapan bunyi memang berbeda-beda di berbagai komunitas bahasa.

 

Seperti yang kita tahu, keragaman geografis melahirkan keragaman makanan dan budaya, yang pada akhirnya juga membentuk keunikan bunyi dan bahasa. Mengakui keberagaman ini berarti juga menghargai keunikan fonetis setiap masyarakat.

 

Kita juga paham bahwa huruf yang kita pakai dalam literasi berasal dari alfabet Latin. Mengapa bukan huruf Jepang, Rusia, Sanskerta, atau bahkan aksara Kawi Jawa atau Batak? Kita mengadopsinya karena alfabet Latin mendominasi dunia. Kita mengalah—atau mungkin memilih untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan global. Namun, untuk menguasainya, kita tetap harus menyesuaikan dengan kapasitas fonemik masyarakat setempat. Misalnya, kita jarang menggunakan huruf Q atau X dalam bahasa Indonesia. Jadi, mengapa tidak menambahkan huruf 'É' atau bahkan menciptakan satu simbol untuk merepresentasikan tiga bunyi "J", "C", dan "T" sekaligus jika memang dalam fonetika Asmat ketiganya dapat saling menggantikan?

 

Karena fenomena ini konsisten ditemui di Mumugu, akhirnya aku dan tim meyakini bahwa ini adalah keunikan fonetis setempat. Kami pun menyusun metode pembelajaran literasi berbasis silabel yang mengadaptasi sistem yang sudah dikembangkan di Sokola Rimba. Susunan ini menggunakan contoh kata-kata lokal dan mengakomodasi keunikan fonetis mereka. Artinya, jika seorang anak menulis “cuci” sebagai “juji” atau “tuti”, itu tetap dianggap benar, karena dalam tata bahasa Asmat (fonotaktik), hal itu sesuai dengan kaidah dan logika fonologi yang mereka gunakan.

Aku mendengar cerita tentang guru yang memutuskan anak untuk tinggal kelas atau divonis tidak bisa membaca, sehingga anak stuck “di sana”, hilang kepercayaan diri dan dilanda kebingungan. Guru menyalahkan “fonologi” setempat ketimbang mencoba memahami alur fonologi mereka dalam pembelajaran di kelas. Di Asmat kami mengajar 92 anak hingga mahir membaca dalam hitungan 6 bulan, hanya karena kami belajar dulu sebelum mengajar. Kami mengikuti rasa penasaran kami sebelum mengambil kesimpulan. Sesederhana itu.


Di Sokola Rimba, metode literasi berbasis silabel lokal memungkinkan seorang anak menguasai baca-tulis dalam 2-3 minggu. Pendekatan native syllable ini dianggap terobosan dan telah diakui oleh UNESCO yang kemudian menganugerahi International Literacy Prize kepada Sokola Institute pada tahun 2024.

 

Di Belanda, anak-anak belajar bahasa Inggris di sekolah di usia sekitar 10 tahun (kelas 3 atau 4). Film anak-anak dalam bahasa asing pun biasanya disulih suara ke dalam bahasa Belanda, sementara film remaja dan dewasa tetap menggunakan bahasa aslinya dengan teks terjemahan di layar dalam Bahasa Belanda.

 

Penggunaan bahasa ibu tidak hanya membuat pembelajaran literasi lebih efektif, tetapi juga memberikan rasa aman—seperti sedang berbicara dengan ibu sendiri. Ia menciptakan ruang yang nyaman untuk tumbuh dan mencintai budaya serta identitas diri. Saaat berbicara, berpikir, dan menulis, anak hanya berpikir satu kali. Jika fondasi ini kuat, maka di usia yang lebih dewasa (9 tahun ke atas), anak-anak akan lebih siap untuk mempelajari dunia yang lebih luas serta menguasai bahasa baru dengan lebih percaya diri. Penelitian juga menyebutkan bahwa dengan belajar baca-tulis dalam bahasa ibu, penguasaan bahasa nasional dan berbagai bahasa asing pun akan lebih cepat.

 

Di Hari Bahasa Ibu ini, kita ingin merebut kembali kedaulatan bahasa ibu—mengembalikan kedudukannya dalam masyarakat, dalam sekolah, dan dalam percakapan sehari-hari. UNESCO merekomendasikan agar anak-anak belajar menggunakan bahasa ibu di sekolah, terlebih di kelas kecil, anak sebaiknya belajar baca-tulis dalam bahasa ibu mereka terlebih dahulu. Kita seharusnya merayakan keberagaman bahasa ibu, seperti kita merayakan keragaman makanan, alam, flora-fauna, dan kepercayaan serta seni-budayanya, bukan menyeragamkan bahasa pembelajarannya. Bukankah kita menjunjung Bhinneka Tunggal Ika? Seyogyanya itu tercermin dalam penerapan bahasa ibu dalam pembelajaran literasi. Saat kita mengajarkan baca-tulis dalam bahasa lain, sejatinya kita sedang mengubah anak-anak menjadi orang lain dan mengajak meninggalkan budayanya sejak dini, seolah budaya mereka tidak membanggakan dan nirhistori. Apakah perlu diingatkan kembali bahwa jika ditarik ke belakang dan bahkan jauh ke masa depan, kealpaan bahasa ibu dalam pembelajaran literasi berkaitan erat dengan urbanisasi, deforestasi, perubahan iklim dan lemahnya kedaulatan pangan kita selama ini. Ayo, siapa yang mau berbagi alasannya? Yang paling tepat nanti dapat hadiah yaaa…