Merefleksikan Hari Pendidikan Internasional
Teks: Fadilla M. Apristawijaya | Foto: Aulia Erlangga
Merefleksikan Hari Pendidikan Internasional
Penulis: Fadilla M. Apristawijaya | 30 Januari 2025
Hari Pendidikan Internasional merupakan momentum penting untuk merefleksikan bagaimana pendidikan dapat menjadi alat bagi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif bagi semua. Namun, di balik semangat globalisasi pendidikan yang menjanjikan kemajuan dan kesetaraan, ada tantangan besar yang dihadapi oleh banyak komunitas lokal, terutama dalam pengakuan dan integrasi pengetahuan lokal dalam sistem pendidikan formal.
Dalam beberapa dekade terakhir, kebijakan pendidikan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, telah sangat dipengaruhi oleh tata kelola global (global governance) seperti yang diterapkan melalui lembaga-lembaga internasional seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan Programme for International Student Assessment (PISA). Standar pendidikan global ini menekankan kompetensi yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bidang seperti matematika, sains, dan literasi. Hal ini mendorong negara-negara untuk menyesuaikan kurikulum mereka demi mencapai standar internasional, yang seringkali tidak mempertimbangkan konteks lokal. Akibatnya, sistem pendidikan cenderung mengabaikan atau bahkan menyingkirkan pengetahuan lokal yang kaya akan nilai, budaya dan kearifan kontekstual yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat setempat.
Hingga saat ini, pengetahuan lokal di sekolah masih sering dianggap sebagai pelengkap yang bersifat ornamental, sekadar memenuhi tuntutan administratif tanpa benar-benar diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran yang bermakna. Misalnya, pembelajaran tentang rumah adat di sekolah hanya terbatas pada tugas deskriptif yang dangkal, berisi hafalan tentang bentuk dan nama bagian-bagiannya. Padahal, filosofi dan proses pembangunan rumah adat sarat dengan nilai spiritual serta hubungan manusia dengan alam dan sesamanya. Sayangnya, hal-hal esensial seperti ini dianggap kurang penting dibandingkan mata pelajaran yang distandarisasi secara nasional seperti matematika, bahasa asing, atau sains. Akibatnya, peserta didik kehilangan kesempatan untuk memahami dan mengapresiasi kekayaan budaya mereka sendiri sebagai bagian dari proses pendidikan.
Pendidikan kita tidak pernah berhenti menghomogenisasi, padahal dunia saat ini membutuhkan pendekatan yang beragam untuk menghadapi berbagai polycrisis yang terjadi. Memberikan ruang bagi pengetahuan lokal merupakan langkah penting dalam menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya menghormati keanekaragaman budaya, tetapi juga adil dan berkelanjutan. Mari kita jadikan Hari Pendidikan Internasional ini sebagai pengingat bahwa kita perlu berani menentukan sikap untuk membangun pendidikan yang inklusif, relevan, dan berpihak pada nilai-nilai lokal serta kebutuhan nyata masyarakat.