Kaki-kaki Telanjang dan Kisah tentang Keberagaman
Penulis: Aditya Dipta Anindita | Foto: Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Jefri Davidson Amakia
Kaki-kaki Telanjang dan Kisah tentang Keberagaman
Penulis: Aditya Dipta Anindita | 27 Agustus 2021 | Tulisan ini dimuat di katalog pameran Abhinaya Karya "Kembara Gembira: Ayo Dolan! Ayo Cerita!” Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Juli 2021.
Suatu siang di kelebatan hutan hujan di jantung pulau Sumatera yang menjadi rumah bagi kelompok masyarakat adat Orang Rimba. Kami baru saja mendirikan tenda untuk bermalam. Aku bersiap hendak menuju sungai yang jaraknya sekitar seratus meter. Jeriken siap di tangan, dengan yakin aku melangkah menuju jalan setapak arah kami datang tadi. Tak sampai 20 meter, aku berhenti. Setapaknya seperti hilang. Aku sudah beberapa kali mengalami kejadian seperti ini. Maka, pelan-pelan aku mencermati sekeliling, mencoba mencari urat jalan di antara pepohonan dan semak-semak. Bagiku yang tumbuh besar di kota, isi hutan ini terasa mirip-mirip semua. Seluas pandangan mata, hanya hijau pepohonan yang terlihat.
“Ke mono jelon ke ai’a?” Aku berseru agak keras, mengharapkan petunjuk jalan dari beberapa anak yang masih berada di dekat tenda.
“Kiyun…” Di sana, kata mereka sambil masih sibuk memotong-motong kayu bakar. “Iya, tapi di sana itu sebelah mana?” Jawabku setengah putus asa.
Tak lama kemudian datang seorang anak kecil berumur sekitar lima tahun, Ngunto namanya. Rupanya ia diutus kakaknya untuk menunjukkan jalan. Kedua kaki telanjangnya begitu lincah dan tampak kuat. Sesekali ia melompat menghindari tunggul sisa tebangan yang salah satunya sempat membuat aku tersandung. Lalu ia berjalan di atas batang pohon yang rebah dengan keseimbangan yang sangat baik, mendahuluiku menuju samping semak-semak yang ternyata ada sisa tebasan--tebasan lama yang nyaris tak bisa aku kenali, yang menunjukkan tempat itu bekas dilewati. Itulah jalan setapak menuju sungai yang tidak bisa kutemukan.
Di dalam hutan, kita tidak bisa berharap ada papan petunjuk jalan padahal semuanya tampak sama. Sejauh mata memandang, yang ada hanya pemandangan monoton pepohonan. Tetapi sebagai penghuni hutan, Orang Rimba memiliki penglihatan yang berbeda bahkan sejak seumur Ngunto. Mereka menghafal vegetasinya, kontur tanah, lalu membuat klasifikasi; menyimak setiap detail dan merekam dalam ingatannya. Ngunto sudah menghafal hutan dengan baik. Sepasang kaki mungilnya telah menguasai jelajah hutan setidaknya dalam radius satu kilometer dan akan terus bertambah seiring dia tumbuh besar.
Tedera Maga dan Du’a Mita
Di sebuah Kampung Adat di Sumba Barat, aku bertemu dengan Tedera Maga, anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun. Sama seperti Ngunto, ia juga memiliki sepasang kaki yang kuat.
Tedera Maga memanduku berjalan berkeliling kampung. Sekalipun ia punya alas kaki, tetapi ia lebih suka tidak memakainya selain untuk pergi ke sekolah. Dan memang betul, kakinya terlatih dengan baik menapaki kontur perbukitan kering di sana. Ia berlarian lincah saat menempuh savana di bawah terik matahari, kuat mendaki undakan berbatu menuju kampung adat di pucuk bukit dan dengan gembira menapaki tanah kering berpasir. Pun saat menyeberangi sungai di kaki bukit, tak pernah terlihat kakinya goyah. Ia bahkan sigap menggandeng tanganku ketika aku melambat saat berjalan di atas batuan sungai yang licin berlumut.
Di bagian lain Nusa Tenggara Timur, aku mengenal Du’a Mita. Usianya sebaya dengan Tedera Maga. Ia tinggal di sebuah pulau kecil di mana laut menjadi halaman tempatnya bermain. Ia tampak tak kesulitan mendayung perahu kecil di pantai depan kampungnya sampai beberapa meter ke tengah, lalu melompat masuk ke air, berenang dengan lincahnya. Kedua kakinya kuat mengayuh tak jarang melawan gelombang yang dibawa ombak. Di sela-sela waktu bermainnya, ia berjalan menuju ke rumpun bakau sambil membawa parang. Tidak membutuhkan waktu lama untuk dia mengumpulkan kerang bakau yang menjadi santapan kami siang itu.
Anak-anak Istimewa
Aktivitasku selama hampir dua dekade terakhir ini memungkinkan aku untuk mengunjungi berbagai kampung dan tinggal dalam waktu yang lama. Aku menyaksikan anak-anak di sana bertumbuh. Sungguh, aku melihat mereka sebagai anak-anak yang istimewa dan kuat. Kusebut istimewa karena kelahiran mereka umumnya ditandai dengan sebuah upacara beserta doa-doa keselamatan yang dikumandangkan oleh seluruh warga. Warga juga yang kemudian turut andil mengasuh dan menjaga pertumbuhannya hingga mereka dianggap dewasa kelak.
Dari keluarga dan orang-orang di sekelilingnya, anak-anak itu akan belajar berbagai keahlian dan pengetahuan hidup. Di rimba, Ngunto belajar mengenali setiap vegetasi, menangkap ikan, berburu, menanam, memanen madu, dan sebagainya seperti halnya Tedera Maga belajar menenun dan menganyam tikar, atau Du’a Mita yang piawai mendayung perahu dan mencari kerang di sela akar bakau. Bentang alam adalah sumber pengetahuan dan penghidupan mereka. Setiap pohon, setiap ruas pantai, sepanjang aliran sungai, mengandung pengetahuan yang harus dipelajari untuk dapat melangsungkan kehidupan. Tidak ada waktu, tempat, atau guru khusus untuk mereka belajar. Bisa jadi melalui dongeng yang dikisahkan setiap malam menjelang tidur, saat dalam gendongan ibunya sambil berjalan menuju ladang di musim tanam, atau saat mendengarkan cerita ayahnya yang sedang bersiap pergi berburu.
Selain itu, dari para tetua di kampungnya, anak-anak belajar tentang kebajikan adat yang mengatur bagaimana manusia harus menjaga hubungannya dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan sang pencipta; tiga elemen utama untuk menjaga harmoni kehidupan. Maka lengkaplah ekosistem belajar yang menyertai seorang anak tumbuh dewasa: ruang belajar yang luas dan kaya pengetahuan, hukum adat yang menjaganya, serta komunitas yang mengasuhnya. Ekosistem belajar ini mengingatkan kita pada sebuah pepatah Afrika yang berbunyi “It takes a village to raise a child”, demikian memang adanya. Bukan hanya tentang bagaimana ia dibesarkan oleh komunitas, tetapi juga oleh bentang alam yang luas.
Alam mengajarkan mereka untuk menjadi kuat. Ini hal kedua yang ingin kusampaikan. Mengiringi mereka tumbuh besar, Ngunto, Tedera Maga, dan Du’a Mita memiliki tempat bermain yang tak terbatas yang terbuka untuk dieksplorasi. Mereka menyerap energi alam, sumber pengetahuan, sembari melatih otot-otot mereka. Berlari, berenang, menjelajah, melompat, memanjat, meniti batang, dan berayun. Tidakkah itu semua yang coba ditiru oleh alat permainan yang kita temui di berbagai area bermain anak? Mereka melakukannya setiap hari, setiap waktu. Itu kenapa kaki-kaki mereka begitu kuat berpijak di atas bumi.
Namun seiring waktu, kaki-kaki telanjang mereka kerap mendapatkan tantangan. Bukan, bukan dari alam. Tantangan sering kali datang dari orang-orang di luar sana yang berpikir bahwa kaki-kaki mereka tidak seharusnya dibiarkan telanjang dan menjadi kotor. Bukan itu saja, orang-orang itu juga berpikir bahwa Ngunto, Tedera Maga, Du’a Mita, dan saudara-saudaranya miskin karena tidak bersepatu. Juga karena Ngunto tinggal berpindah-pindah (nomadik) di hutan, ia dianggap tidak punya rumah. Maka tak berhenti upaya-upaya untuk memindahkan Ngunto dan komunitasnya keluar hutan.
Aku pernah mengajak seorang murid Sokola Rimba untuk mengikuti pertemuan di sebuah kementerian. Ia kebetulan sedang berada di Jakarta untuk mengurus dokumen perjalanan untuk menghadiri sebuah konferensi internasional di Canada. Pengendum namanya. Ia sudah menjadi pengajar di Sokola Rimba untuk anak-anak seangkatan Ngunto.
Di kementerian itu, Pengendum mempresentasikan mengenai perlunya ada kurikulum khusus bagi masyarakat adat. Kurikulum yang dapat mendukung penguatan adat mereka, kelestarian pengetahuan lokal, dan secara tidak langsung berarti juga perlindungan pada hutan yang menjadi paru-paru dunia. Seorang ibu peserta pertemuan itu kemudian bertanya, “Pengendum, apa kamu tidak ingin melihat saudara-saudaramu maju seperti kita di sini, pakai pakaian, sekolah, dan lain-lain?”
Tedera Maga sempat bercerita kepadaku bahwa di sekolahnya, ia punya nama yang berbeda karena nama adat tidak diperkenankan. Bahasa ibu mereka juga tidak pernah digunakan di sekolah, pun bentuk-bentuk tradisi lainnya.
Ini masalahnya. Kita sering kali bicara keberagaman, tapi hampir selalu memaksakan satu pandangan. Pandangan bias kota yang menempatkan kota sebagai ukuran standar hidup yang baik. Bahwa kota adalah kemajuan yang harus menjadi rujukan. Bahwa rumah harus berupa empat dinding, bahwa pendidikan harus berujung pada ijazah yang dapat digunakan untuk mencari pekerjaan, bahwa sepantasnya kaki berbalut sepatu, dan lain-lain. Dan segala sesuatu yang tidak masuk dalam standar itu akan dibilang miskin, terbelakang, bodoh, dan sebagainya.
Padahal, Ngunto dan Pengendum makan daging lebih sering dari kebanyakan orang di kota karena hutan tak berhenti menyediakannya. Belum lagi bahan pangan lain yang hadir sesuai musim. Mereka di rimba punya air dan udara yang bersih dan gratis. Bagi Ngunto, rumah itu ya seluas hutan tempat ia bermain dan mencari penghidupan kelak. Dan bagi Tedera Maga, ajaran-ajaran adat dalam bahasa ibunya telah mengajarkan bagaimana menjaga galu (tempat penyimpanan padi) agar tetap penuh, bagaimana warga saling bergotong-royong dan membantu satu sama lain dalam mengelola kehidupan bersama.
Kota tampak sebagai sebuah tempat yang riuh. Banyak manusia dan jalinan berbagai budaya di sana. Meski demikian, semuanya nyaris bergerak dalam satu irama. Teratur dan pasti. Berkegiatan dari Senin sampai Jumat dalam waktu yang seragam, lalu istirahat di dua hari berikutnya. Demikian berulang setiap minggu, dari Januari hingga Desember. Untuk mengurangi risiko ketidakpastian yang dianggap tidak efisien, angka-angka dijadikan patokan: pukul berapa bangun, masuk kerja atau sekolah, lalu pulang ke rumah; usia berapa harus masuk SD, SMP, SMA dan seterusnya hingga pensiun; tanggal berapa gajian, membayar tagihan, dan sebagainya. Semuanya nyaris sama apakah itu di Jakarta, Jogja, atau Kuala Lumpur, Canberra, sampai di New York sana. Karena itulah orang kota akan banyak sepaham mengenai banyak hal, karena memang hidupnya nyaris seragam dan teratur.
Sementara komunitas di mana Ngunto, Tedera Maga, dan Du’a Mita berada yang mengandalkan alam untuk kelangsungan hidupnya akan bergerak sesuai musim dan kondisi bentang alamnya. Kehidupan Ngunto akan berbeda saat musim hujan, musim kemarau, musim buah, ataupun musim wabah. Demikian juga warga kampung tempat Du’a Mita tinggal, mereka mengenal musim angin tenggara dan angin barat karena di saat itu mereka tidak ke laut dan mengandalkan sumber penghidupan di darat. Itulah mengapa penting buat mereka untuk bisa memahami pertanda alam dibanding berpatokan pada angka-angka kalender. Penting bagi mereka untuk memiliki kaki yang kuat, karena alam bukanlah medan yang mudah.
Perkenalanku dengan Ngunto, Tedera Maga, Du’a Mita, dan anak-anak lain di berbagai tempat membuka mataku bahwa kota bukan segala-galanya dan pengetahuan juga bukan hanya yang diajarkan di bangku sekolah. Di hutan aku tidak lebih pandai dibandingkan anak berumur lima tahun. Aku juga tidak tahu bangaimana memenuhi kebutuhan hidupku selain dengan membelinya di toko karena memang itu cara orang kota untuk hidup. Kakiku tak sekuat mereka dan mudah tergores, karena itu selalu membutuhkan alas kaki. Sementara itu bagi Ngunto, Tedera Maga, dan Du’a Mita yang tinggal jauh dari pasar, mereka tak habis pikir mengapa mereka harus bergantung pada sepatu untuk berjalan. Terlebih lagi kebanyakan sepatu tidak lebih kuat dari kaki mereka. Malahan bisa jadi terlalu sering memakai sepatu akan melemahkan kaki mereka menjadi seperti kaki-kaki orang kota yang tidak bisa menginjak batu atau tanah kering. Yang mereka butuhkan adalah pengetahuan yang sesuai dengan konteks kehidupannya.
Saat tulisan ini coba diselesaikan, dunia dilanda pandemi yang dikenal dengan Covid-19. Virus ini terdeteksi pertama di Cina lalu dalam waktu kurang dari dua bulan, sudah menyebar dan menimbulkan kepanikan ke hampir seluruh negara di bumi ini termasuk Indonesia. Ini adalah salah satu akibat dari koneksitas kita warga dunia yang kemudian resah mengenai kapan wabah berakhir dan bagaimana melangsungkan kehidupan dalam kondisi tidak pasti ini. Wabah tidak hanya menjadi masalah kesehatan belaka, namun juga diikuti masalah lain seperti keuangan dan pangan.
Dalam kondisi ini, aku membayangkan Tedera Maga dan orang-orang di kampungnya yang rasanya tidak akan kekurangan pangan. Galu di rumah-rumah mereka selalu penuh karena demikianlah aturan adatnya. Pamali jika galu sampai kosong. Bahkan nasi yang kami makan di upacara adat beberapa waktu lalu, berasal dari beras yang disimpan di dalam galu sejak tahun 2017. Belum lagi sayur-mayur yang mereka tanam di ladang.
Sementara itu di rimba, Ngunto mengikuti komunitasnya menarik diri ke dalam hutan setelah mengetahui adanya wabah di luar sana. Adat telah memiliki mekanisme menghadapi wabah yang disebut dengan besesandingon. Tradisi ini mengatur bagaimana mengisolir kelompok yang sedang sakit, menempatkan mereka di hilir sungai agar penyakit tidak menular melalui air yang mereka pakai. Besesandingon juga biasa diberlakukan bagi orang yang baru tiba dari luar (desa atau kota), tidak boleh langsung bercampur. Harus dipastikan dulu bahwa mereka tidak membawa penyakit. Ini bahkan selalu mereka lakukan tanpa ada musim wabah. Maka ketika ada yang bertanya kepadaku bagaimana kegiatan belajar Sokola Rimba di masa wabah (karena kami tidak mungkin belajar secara daring), aku dengan yakin menjawab bahwa mereka tidak berhenti belajar. Mereka justru sedang dibimbing oleh para ahli adat dan mempraktikkan langsung pengetahuan adatnya untuk menghadapi pandemi.
Tiba-tiba aku teringat perbincangan dengan seorang tetua adat beberapa waktu lalu. Ia berujar bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan yang tidak diajarkan di bangku sekolah manapun dan nanti orang-orang akan mencarinya dan mengakui kebenarannya. Momentum wabah ini seakan menjadi buktinya.
Maka dari itu, penting untuk mengajarkan kepada anak-anak kita pengetahuan tradisional dan kebajikan selain ilmu-ilmu yang didapat di bangku sekolah. Dan tidak kalah penting adalah mengajarkan keberagaman, agar kita tidak menilai segala sesuatu dari kacamata sendiri yang kadang belum tentu benar. Agar kita tidak memaksakan suatu pandangan karena baik atau tidaknya, bisa menjadi sangat relatif dan tergantung pada konteks. Agar pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki Ngunto dan Tedera Maga bisa terjaga sehingga sebaliknya akan bisa menjaga kehidupan. Agar kaki-kaki mereka terus kuat menapak di bumi dengan penuh martabat karena merekalah pemelihara keanekaragaman hayati dan budaya di bumi ini.
Sebagai penutup, kita kembali pada cerita Pengendum yang ditanya apakah ia tidak ingin komunitasnya “maju”. Pengendum menjawab dengan tenang sambil melihat satu persatu peserta rapat hari itu, “Kita selalu bilang Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika, kan?” Semua manggut-manggut setuju. “Nah, kalau Ibu masih bertanya seperti itu, jangan lagi bicara Bhinneka Tunggal Ika!”
Depok, 15 April 2020