Obed Rina
Penulis dan Foto: Jefri Davidson Amakia
Obed Rina
Penulis: Jefri Davidson Amakia | 9 Juni 2022
“Abang, saya ini tidak ada pikiran merantau seperti teman-teman yang lain. Waktu lebih banyak habis untuk diri sendiri daripada dengan keluarga. Orang tua makin hari tambah tua, siapa yang urus? Saudara perempuan kan nanti menikah dan pergi tinggal di rumah suaminya. Bukan harus merantau baru bisa pegang ini yang namanya uang. Orang tua dulu tidak kenal yang dibilang merantau, tetapi bisa kasih hidup kami anak-anak yang begini banyak, ada yang dikasih sekolah bahkan sampai kuliah. Kalau dorang bilang mau mandiri, kita mungkin dari SMP atau bahkan SD sudah mandiri, sudah bisa cari uang sendiri seperti gali pasir, pelihara ayam dan babi.”
Abang adalah sapaan akrab yang disematkan kepada saya. Tidak hanya Obed Rina, tetapi hampir semua Orang Sodan dari anak-anak sampai orang tua memanggil saya abang. Di atas adalah jawaban Obed Rina dari tiga kata, “Ko mo merantau?” Pertayaan yang saya utarakan kepadanya pada suatu malam di bale-bale Uma Hakola. Ketika itu, kami berdua hendak pergi ke rumah salah satu teman pemuda di kampung Sodan untuk ikut acara perpisahan merantau.
Obed Rina namanya. Ia adalah salah satu pemuda dari Kampung Sodan yang kami kenal sejak Sokola Sumba berkegiatan pada agustus 2019 lalu sampai dengan sekarang. Selama dua tahun sembilan bulan terakhir, saya dan tim diijinkan tinggal dan hidup bersama di kampung mereka, di mana rumah-rumah masih memiliki halaman. Ini menarik, karena di kampung lain yang lebih padat, tidak ada lagi halaman untuk anak-anak bermain.
Obed Rina merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara, memiliki empat saudara laki-laki dan lima saudara perempuan. Dua saudara perempuannya sudah menikah, dua adik perempuan sedang bersekolah di Bali, satu adik laki-laki sudah menikah dan tinggal bersama istri di luar Kampung Sodan. Sedangkan ia sendiri bersama satu kakak perempuan dan dua adik laki-lakinya tinggal di rumah bersama orang tuanya di Kampung Sodan. Ia mulai menetap di Kampung Sodan terhitung sejak lulus SMA pada tahun 2012 karena sedari kecil ia tinggal bersama tantenya di Kabupaten Sumba Tengah untuk bersekolah.
Saat kedatangan kami pada 2019 lalu, pemuda lulusan SMA jurusan IPS ini sedang menjadi pegawai tata usaha di salah satu Sekolah Dasar di Desa Laboya Dete, tetapi dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah daerah di akhir tahun 2021, ia kemudian dirumahkan. Sejak saat itu, Obed Rina memfokuskan diri untuk bertani, menanam padi sawah dan padi ladang di lahan miliknya sendiri yang merupakan warisan dari orang tua untuk anak laki-laki dalam keluarga. Selain itu, ia juga beternak ayam dan babi di kandang yang berada tepat di bawah rumah panggungnya.
Bertani dan beternak sudah ia jalani sejak dahulu, sama seperti anak laki-laki lain di Kampung Sodan yang ketika sudah berumur 15 tahun sudah mulai diberi kepercayaan oleh orang tua untuk mengelola kebun sendiri. Hasil kebunnya akan digunakan untuk membeli kebutuhan sendiri. Sendiri di sini bukan berarti ia yang kerjakan sendiri, tetapi sejak musim hujan tiba, ia akan mendaftarkan dirinya dalam kelompok. Kemudian, semua anggota kelompok akan terlibat mengerjakan kebun atau sawah seluruh anggota kelompok secara bergantian sejak sebelum tanam seperti membuat pematang, menanam atau hamula, sampai saat panen padi atau ropo pare tiba. Orang Sodan menyebutnya hawadda atau gotong royong.
Awal kedekatan kami dengan Obed Rina dimulai sejak kami sering terlibat dalam gotong royong membangun rumah adat atau Rumah Besar yang merupakan tempat tinggal Rato, tokoh adat atau pemimpin Rumah Besar yang ada di kampung Sodan. Terlibat dalam rutinitas komunitas atau tinggal bersama adalah salah satu langkah saya dan tim agar bisa membangun kedekatan secara kekeluargaan, saling terbuka antara kami, bisa memandang persoalan di kampung Sodan dari sudut pandang komunitas, dan mencari jalan keluar melalui proses pendidikan. Di Sokola, kami menyebutnya “sekolah hadap masalah”.
Sejak perjumpaan kami pada saat hawadda, Obed Rina menjadi sering datang ke uma hakola untuk membantu kami mengajar adik-adiknya. Dan sekarang, ia telah menjadi tutor/kader keaksaraan dasar, salah satu program kolaborasi Sokola Sumba bersama Dinas Pendidikan Sumba Barat untuk penuntasan buta huruf di Desa Laboya Dete.
Saya dan tim juga banyak belajar dari Obed Rina karena ia sering menjadi narasumber kami terkait adat istiadat dan bahasa ibu, bahasa Laboya, saat menyusun kamus Bahasa Laboya-Bahasa Indonesia. Kamus ini adalah modal awal kami bersama komunitas yang digunakan untuk membuat modul pembelajaran literasi dasar berbasis bahasa ibu.
Belakangan ini, Obed Rina selalu menjadi andalan untuk mengorganisasi komunitas dan berkontribusi sebagai perwakilan komunitas untuk mengikuti pelatihan di dalam maupun di luar Kampung Sodan yang berhubungan dengan persoalan aktual komunitas. Ia juga banyak membantu kami menjadi penghubung kami pada awal masa pandemi corona dan mengharuskan kerja dari rumah. Ia juga yang selalu kami hubungi untuk menyosialisasikan bahaya corona dan mengajak komunitas untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
Pada bulan september tahun 2021 lalu, ia bersama Jawo Pote atau yang akrab dipanggil Budi, mewakili komunitasnya untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Dinas Peternakan Sumba Barat. Selama tiga hari, di salah satu penginapan di kota Waikabubak, mereka berdua mempelajari penyakit lokal ayam kampung, mulai dari penyebab, pencegahan, dan pengobatan penyakit yang menyerang ayam kampung. Pada hari pertama, mereka mempresentasikan persoalan yang mereka hadapi Kampung Sodan yakni tentang ayam kampung yang ketika memasuki musim hujan, selalu saja ada virus yang menyerang. Selanjutnya pada hari kedua, mereka mendapatkan materi terkait pemeliharan, manajemen perkandangan, dan pakan sehat untuk beternak ayam kampung. Sedangkan pada hari terakhir, mereka praktik membuat jamu herbal probiotik ternak untuk ayam kampung. Setelah selesai pelatihan, mereka berdua menyosialisasikan pengetahuan yang didapat dan membagikan jamu hasil praktik mereka untuk komunitas yang sudah mempercayai mereka berdua mengikuti pelatihan tersebut.
Tidak hanya sampai di situ keterlibatan Obed Rina sebagai pemuda Sodan yang berkontribusi positif untuk komunitasnya. Kali ini, melalui kegiatan yang kami usung bersama dan diselenggarakan di uma hakola, yaitu belajar membuat pupuk organik. Obed Rina yang menjadi salah satu peserta pelatihan sangat antusias. Tidak hanya belajar pada siang hari, pada malam harinya, ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke uma hakola tempat guru tamu menginap. Ia datang untuk berdiskusi, mencari tahu lebih dalam lagi, dan mencatat kembali pelajaran yang tertinggal selama pelatihan. Ia kemudian berinisiatif mengumpulkan bahan di sekitar kampung dan membeli bahan yang tidak ada di kampung untuk praktik di rumahnya. Rencananya, hasil praktik akan diujicobakan sebagai percontohan pada padi kedua dalam tahun ini yang ia tanam.
Harapan Obed Rina ke depan agar pemuda yang sekarang sedang diorganisasi oleh Sokola Sumba, tetap kompak, mau belajar pengetahuan tentang persoalan yang sedang dihadapi komunitas. Harapan lainya, agar komunitas bisa mempraktikkan pengetahuan selama pelatihan terkait pupuk organik sebagai langkah yang tepat untuk menghadapi salah satu persoalan pertanian komunitas yaitu kelangkaan pupuk kimia subsidi. Menurutnya, kelangkaan pupuk subsidi, harga pupuk kimia non subsidi yang mahal, dan harga pasar pasca panen yang tidak menentu berakibat pada berkurangnya hasil panen dan pendapatan. Ini yang menyebabkan banyak pemuda Sodan memilih merantau dibandingkan tinggal di kampung dan mengolah tanah.
Sebagai penutup tulisan tentang Obed Rina ini, saya ingin mengutip tulisan dari buku “Mengorganisir Rakyat” karya Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang bahwa pendidikan dan pelatihan bagi warga dan anggota organisasi rakyat setempat adalah salah satu inti proses pengorganisasian yang terpenting, bahkan yang terpenting di antara semua jenis kegiatan lainnya.
Tabik!