Pesisir, Hutan, dan Kemajuan yang Diharapkan

Penulis: Aditya Dipta Anindita | Foto & Gambar: Aulia Erlangga, Sarah Tamimi Pradoto, Jefri Davidson Amakia, Imran Santosa, Penguwar

Foto: Aulia Erlangga

Foto: Imran Santosa

Foto: Sarah Tamimi Pradoto

Pesisir, Hutan, dan Kemajuan Yang Diharapkan

Penulis: Aditya Dipta Anindita | 9 Agustus 2021 

“Dulu, kita cari lahan bermain itu mudah sekali. Kami dapat pohon, kami panjat. Di bawahnya ada air, kami biasa lompat-lompat di situ. Kita juga jalan-jalan naik perahu,” ungkap Toni, kader Sokola Pesisir di acara instagram live bulan Juni 2021 yang lalu. Di acara itu, Toni bersama Salma dan Syarif menceritakan kisah di balik layar pembuatan film “Ada Apa dengan Sampah di Mariso?” yang mereka produksi. Film ini menceritakan tentang perubahan lingkungan yang terjadi di Kampung Mariso dan dampaknya bagi warga di sana. 

Reklamasi Mengubah Wajah Mariso

“Kampung sudah sangat berubah sekali," kata Toni saat ditanya perubahan apa yang terjadi di Kampung Mariso. Menurut Toni, dahulu di depan rumahnya adalah laut. Lalu ada reklamasi dan laut ditimbun, menyisakan apa yang mereka sebut empang. Ada satu masa di mana sampah yang dibawa oleh saluran irigasi kota tidak bisa mengalir ke laut dan menumpuk di wilayah Mariso sehingga menjadi pemandangan sehari-hari warga. Tumpukan sampah itu kini telah menjadi material urukan yang menjadi pondasi bagi rumah-rumah di sana. Dan bisa dikatakan kalau Kampung Mariso sudah bukan lagi kampung pesisir. Laut semakin jauh, bahkan tidak terlihat lagi dari rumah Toni. Tidak hanya itu, kondisi laut juga semakin kotor. Saat membuat film, Salma dan Toni sempat mengambil gambar dengan perahu. Tapi laut sudah tidak seperti dulu. Kini, mereka mengalami gatal-gatal setelah berkegiatan di laut. 

Perubahan lingkungan sebagai dampak reklamasi menyebabkan perubahan pada banyak sektor kehidupan warga Mariso. Sampah adalah satu hal. Masih banyak konsekuensi yang mesti diterima oleh warga Mariso akibat reklamasi, salah satunya mengenai mata pencarian. 

Banyak nelayan yang terpaksa berubah mata pencarian ke sektor informal kota seperti menjadi buruh kasar. “Yang sedih waktu itu, banyak nelayan yang menjual perahunya karena tempat parkir perahunya sangat jauh,” kata Toni. Salma menambahkan bahwa ikan-ikan yang dijual di pelelangan di Mariso kini berasal dari tempat lain. Harganya pun menjadi lebih mahal. Ia mengutip kalimat sendu seorang nelayan yang ditemuinya, “Saya dulu gampang sekali cari ikan, nyatanya sekarang tidak pernah lagi makan ikan.” 

Sebagai anak pesisir, ikan tentu menjadi makanan sehari-hari. Toni bercerita bahwa dahulu ia sering membantu ayahnya mencari ikan. “Dulu, kalau mau makan, kita cuma sediakan nasi. Kalau mau lauk, kita cari ikan di laut, cari ikan di pinggir-pinggir pesisir. Sudah itu, langsung dibakar. Kita makan.” Bagaimana sekarang, saat laut semakin jauh? “Sekarang anak-anak makan bakso tusuk, indomie, makanan kemasan, itu banyak sekali,” sambung Toni.

Makanan kemasan kemudian menjadi persoalan tersendiri. Disebutkan di dalam film yang dibuat oleh Toni dan teman-temannya bahwa menurut hasil riset mereka, kemasan makanan berkontribusi cukup banyak dalam produksi sampah warga Mariso. Jenis sampah lain yang jumlahnya tak kalah banyak adalah sampah berupa nasi. Menurut dugaan mereka, sejak beralih mata pencarian ke sektor informal kota, warga tidak lagi memasak sendiri makanannya. Mereka membeli di warung-warung dengan porsi yang sering kali terlalu besar. Karena itulah nasi banyak terbuang. 

Foto: Jefri Davidson Amakia

Foto: Jefri Davidson Amakia

Gambar: Penguwar

Rusa yang Dirindukan

Tiba-tiba aku teringat pada kisah Penguwar yang merindukan daging rusa buruan. Ini adalah cerita lama, sekitar awal tahun 2000-an, ketika hutan tempat hidup Penguwar mulai terbuka. Ya, Penguwar yang saat itu kira-kira berusia 10 tahun merupakan bagian dari komunitas adat Orang Rimba yang tinggal di hutan Bukit Duabelas, Jambi. Hutan hujan ini juga menjadi sumber penghidupan dan membentuk identitas kultural mereka. Saat itu, Penguwar mengeluhkan rusa hasil buruan yang belakangan selalu dijual kepada orang desa. Paling-paling mereka hanya mendapatkan bagian kepala dan isi perut saja, dan tetap harus dibagi-bagi untuk seluruh anggota rombong. Tidak ada daging berlimpah seperti dahulu, tidak ada kegembiraan pembagian hasil buruan lagi. Sebagai gantinya, uang hasil buruan dibelanjakan di pasar desa untuk membeli gula, kopi, penganan ringan, dan tak ketinggalan minuman bubuk instan dalam kemasan saset yang digemari anak-anak. 

Pasar memang menjadi primadona baru pada masa itu. Ia menawarkan kemudahan untuk mendapatkan barang-barang konsumsi yang dikemas menarik. Kini, tak perlu lagi menunggu musim madu ataupun menanam tebu untuk mendapatkan rasa manis karena gula selalu tersedia di pasar. Tidak hanya itu, pasar juga menawarkan produk-produk manis lainnya semisal minuman bubuk instan yang langsung menjadi populer di kalangan anak-anak rimba. Minuman bubuk instan ini menawarkan rasa manis buah-buahan yang tidak pernah mereka temukan di rimba seperti melon atau stroberi. Penguwar menggemarinya, namun ia juga merindukan makan daging rusa sampai kenyang. Rasanya tidak adil membayangkan daging rusa yang kaya protein itu ditukar dengan penganan kecil dan minuman bubuk dalam saset. 

Perubahan pola konsumsi ini didorong oleh perubahan yang terjadi di ruang hidup Orang Rimba. Sejak sekitar akhir 1970-an terjadi konversi hutan besar-besaran yang mengambil sebagian wilayah hidup Orang Rimba. Hutan berubah menjadi permukiman transmigran, serta perkebunan karet dan sawit. Akses ke rimba yang mengecil pun semakin terbuka seiring waktu. Interaksi dengan orang luar juga meningkat. Dan Orang Rimba mulai terhubung dengan pasar. Kini, sekitar dua dekade berselang, semakin banyak kebutuhan pokok Orang Rimba yang diperoleh melalui pasar. Apalagi kemudian, Orang Rimba mulai membuka perkebunan karet dan bahkan menjadi pencaharian utama. 

Anak-anak pun terkena dampaknya. Melak, seorang kader Sokola Rimba, belum lama ini menyampaikan bahwa saat ini permainan anak-anak di rimba sudah banyak berubah. “Dulu kami bermain belelaukon, menakut-nakuti, misalnya menjadi hantu lalu mengejar anak-anak lain. Apalagi masih banyak pohon pisang yang cocok jadi tempat bersembunyi. Anak-anak juga senang belelesuton (seluncuran) di tanah berlumpur,” demikian ia mengenang permainan masa kecilnya. Menurut Melak, kini, anak-anak takut berlari-lari karena sekarang banyak tanggul dan potongan kayu tajam hasil dari pembukaan kebun-kebun karet. “Belum lagi anak-anak yang sudah agak besar, kini juga sering dilibatkan untuk motong (menyadap karet) sehingga mengurangi waktunya bermain,” lanjut Melak. 

Akses pasar ternyata juga membawa sampah ke dalam rimba. Dahulu, tidak ada yang benar-benar sampah di rimba karena semuanya terurai oleh tanah, misalnya kulit buah-buahan, tulang hewan, ataupun pondok yang ditinggalkan perlahan akan lapuk dan lebur dengan tanah. Biji-biji buah bahkan akan tumbuh menjadi pohon. Kini, seiring konsumsi yang meningkat, Orang Rimba juga mengenal sampah kemasan berupa plastik atau kertas, kaca, serta paku atau seng yang kini digunakan untuk membangun rumah-rumah mereka. “Sampah sekarang, misalnya pecahan kaca atau seng juga berbahaya buat anak-anak,” imbuh Melak. Pada akhirnya Melak menyadari bahwa lingkungannya sudah tidak sebaik dulu lagi.(*)

Gambar: Penguwar

***

Rimba tempat hidup Penguwar dan Melak mengalami perubahan yang cepat sekali dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Perubahan lanskap hutan, mau tidak mau juga menuntut perubahan cara hidup dan ancaman memudarnya pengetahuan lokal. Demikian juga perubahan di pesisir kota tempat Toni, Syarif, dan Salma dahulu bermain, telah membawa banyak perubahan bagi warga Mariso. Pembangunan yang sering diartikan sebagai kemajuan, ternyata bisa menjadi kemunduran bagi kualitas ruang hidup dan pada akhirnya kehidupan orang-orang di dalamnya. 

Maka, tak heran ketika Salma di Mariso menyatakan bahwa kemajuan itu seharusnya berupa kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya sehingga lingkungan dapat terjaga dengan baik. Sementara di rimba Jambi, Melak mengharapkan orang-orang yang sudah pintar akan menggunakan kepintarannya itu untuk menjaga dan memajukan adat istiadatnya. “Kemajuan itu ketika seseorang bisa memajukan pola hidupnya dan dia bisa memilih kehidupan yang sesuai dengan adatnya,” imbuh Melak. Harapan Salma dan juga Melak itu adalah harapan warga negara yang bertahan dalam desakan perubahan. Gerak pembangunan seharusnya dapat mendukung “kemajuan” yang diharapkan oleh Salma dan Melak, dan bukan sebaliknya.