Mereka suka rambut kribo!

Penulis: Anciz Benimaking | Foto: Afnal

Foto: Afnal

Foto: Afnal

Foto: Afnal

Mereka suka rambut kribo!

Penulis: Anciz Benimaking | 9 September 2021

“Kak Anciz ndak ada kutu, di? Harum dan lembut rambutna, tawwa!” kata Rayen dengan aksen Makassarnya. “Kita (kamu) ndak seram atau jahat, seperti badut yang dilihat di pasar malam,” sambung Mail disambut gelak tawa mereka.


Celetukan-celetukan kecil Rayen dan Mail tidak sedikitpun membuat saya tersinggung. Saya bangga bahwa rambut keriting ini bisa membuat mereka mengerti perbedaan. Saya bahkan membiarkan mereka mengurai rambut keriting nan mekar ini dengan bangga sambil mendengarkan cerita tentang Mail yang takut dengan badut.


Enam bulan sudah saya mengajar calistung di Sokola Pesisir. Setiap sore, sekitar sembilan anak datang untuk bermain dan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kegiatan belajar selalu dimulai dan diakhiri dengan bermain, bahkan kadang-kadang mereka hanya bermain dan tidak mau belajar. Penampilan saya yang memiliki rambut keriting dan tubuh jangkung menjadi perhatian khusus anak-anak. Seperti sore itu, setelah membacakan buku cerita untuk mereka, saya mengurai rambut untuk memperbaiki ikatannya. Rayen, Mail, dan Yusuf tampak penasaran dengan rambut saya yang panjang dan kribo. Mereka mulai bereksplorasi, mengacak, mencari kutu, bahkan mencium aroma rambut keriting ini. 


Sejak hari pertama saya mengajar, mereka sudah tahu kalau saya berbeda ras, suku, dan agama dengan mereka. Ada kebanggaan tersendiri dalam diri saya karena perbedaan saya diterima dengan apa adanya. Sembari menikmati aktivitas kami, saya selalu mengajarkan kepada mereka mengenai perbedaan dan mencintai diri sendiri. Rambut lurus, keriting, botak, kulit putih atau hitam, badan kurus atau gemuk. Cintailah diri kita sendiri dan pahamilah bahwa manusia diciptakan beragam oleh Tuhan. Justru perbedaanlah menyatukan kita sebagai bangsa yang besar. Kamu berharga dan bersyukurlah akan hal itu, berhenti berkomentar  mengenai kekurangan orang lain meskipun dalam konteks bercanda karena kita tidak pernah tahu keadaan hati seseorang. Jangan menghakiminya orang lain untuk sesuatu yang memang tidak untuk kita hakimi karena tidak ada satupun manusia yang sempurna.