Hak Anak-anak Adat dalam Konteks Pendidikan Nasional

Penulis: Fadilla Mutiarawati dan Aditya Dipta Anindita | Foto: Aulia Erlangga, Lia Jola, Jefri Davidson Amakia

Uma Hak Anak-anak Adat dalam Konteks Pendidikan Nasional

Penulis: Fadilla Mutiarawati dan Aditya Dipta Anindita | 2 Mei 2022

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, uma dalam bahasa Lamboya artinya rumah. Namun, dalam konteks Lamboya, uma berbeda dengan rumah yang dikenal kebanyakan di kota. Begitu pula bagi anak-anak di Desa Laboya Dete, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat. Mereka menyebutkan kata ‘uma’ lebih dari sekadar menggabungkan huruf u, m, dan a. Ketika pertama kali mereka mengenal kata uma dari amma dan inya-nya (bapak dan ibu), mereka sekaligus mempelajari makna hawadda atau gotong royong karena setiap uma di Laboya Dete dibangun bersama-sama oleh warga, bahkan anak-anak bersukacita terlibat dalam prosesnya.


Ketika mereka mulai mengenal kata uma, anak-anak juga belajar menghargai alam karena uma di Laboya Dete didirikan tanpa meratakan tanah dan tanpa menggunakan logam serta semen. Tiang utamanya terbuat dari batang pohon mayela yang khusus dicari dan ditarik dari hutan dengan semangat hawadda, atapnya terbuat dari alang-alang, dan lantainya dari bambu. Uma tidak bisa dibangun setiap waktu, melainkan hanya pada musim setelah panen saja, dan sebelum masuk Wulla Paddu (bulan tenang). Inilah pengetahuan akan kearifan yang diturunkan leluhur melalui para Rato (tetua adat).


Tidak hanya itu, pengetahuannya untuk mengelola ladang juga tersimpan dalam bahasa Lamboya mulai dari pengaturan lahan, menanam, memanen, hingga menyimpan hasilnya sebagai cadangan makanan. Ketika iklim di bumi Pasola tempatnya berpijak, berubah, namun ingatan leluhurnya disimpan dengan baik dalam bahasa Lamboya. Perasaannya juga terukir dalam bahasa Lamboya.


Sayangnya, di sekolah formal, bahasa Lamboya harus ditanggalkan yang berarti juga pengetahuan leluhurnya menjadi tidak lagi penting. Anak-anak mulai dituntut menuliskan bunyi yang tidak pernah didengarnya. Kata-kata menjadi abstrak, tidak lagi tentang uma, padi dan jagung, atau kerbau dan babi.


Amma dan inya tidak dapat terlibat karena sekolah yang menggunakan bahasa yang asing. Demikian juga para Rato tidak dapat terlibat karena pengetahuannya tidak tertulis dalam buku pelajaran.


Tidak hanya anak-anak di Lamboya yang mengalami nasib terasingkan oleh sistem pendidikan nasional kita. Di Indonesia, ada banyak anak-anak yang bahasa sehari-harinya bukan bahasa Indonesia. Anak Rimba di Jambi, anak Kajang di Sulawesi Selatan, anak Baduy di Banten, anak Bayan di NTB, dan masih banyak lagi. Bahkan ada jutaan anak Indonesia di pedesaan yang memiliki pengetahuan tentang mengelola tanah dan ternak, namun pengetahuannya itu tidak mendapatkan tempat di sekolah. Tidak diakui.


Setiap pagi, ketika mereka berangkat sekolah, setiap pagi itu pula mereka harus menanggalkan identitasnya karena sekolah enggan menjadi bagian dari ekosistem hidupnya. Pengetahuannya dipaksa berhenti tumbuh saat kakinya menjejak di sekolah.

Budaya dan Bahasa adalah Hak


Konvensi Hak Anak pasal 30 menyatakan bahwa anak-anak dari kalangan minoritas suku bangsa, agama, atau bahasa atau anak-anak masyarakat adat tidak boleh diingkari haknya untuk menikmati budayanya sendiri, untuk menganut dan menjalankan agamanya sendiri, atau untuk menggunakan bahasanya sendiri.


Undang-undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak juga menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri (pasal 59 dan 65).


Khusus untuk Masyarakat Adat, hak ini diperkuat juga oleh Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada pasal 14, bahwa Masyarakat Adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol sistem pendidikan mereka dan institusi-institusi yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam suatu cara yang cocok dengan budaya mereka tentang pengajaran dan pembelajaran.
























Pendidikan Juga Hak, Tetapi…


Saat ini, melalui Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 33 (2), bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Namun, sampai tulisan ini diturunkan, penggunaan bahasa daerah sebagai pengantar umumnya hanya sebatas menerjemahkan materi pembelajaran seadanya. Buku atau modul belajar anak masih dituliskan dan disampaikan dalam bahasa Indonesia. Padahal banyak konteks kata maupun pelajaran dalam Bahasa Indonesia yang tidak ada dalam lingkungan tempat tinggal anak.


Di Sumba, misalnya, seorang ibu guru mengeluhkan bahwa ia harus mengajari muridnya tentang cara kerja mesin cuci padahal di sana, anak-anak tidak mengenal mesin cuci. Yang mereka tahu, kegiatan mencuci dilakukan di mata air atau sungai. Atau di Lombok, anak-anak harus menghafal tari saman dan permainan gobak sodor yang tidak pernah dipraktikkan di lingkungannya. Untuk menyiasatinya, guru-guru mesti mempelajari tari saman dan gobak sodor melalui youtube agar mereka bisa mengajarkan kepada murid-murid sesuai arahan buku pelajaran karena dalam ujian kenaikan kelas nanti, soal yang disusun oleh gugus akan memasukkan topik-topik tersebut sebagai ujian kenaikan kelas. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.


Hal-hal seperti itu, menurut kami, yang kemudian membuat anak-anak dari masyarakat adat atau pedesaan pada umumnya cenderung tertinggal pelajaran. Mereka tidak hanya kesulitan memahami, tetapi juga kesulitan menyampaikan kesulitannya, pendapatnya, dan tentu kesulitan juga menyelesaikan tugas dan tes yang diberikan.


Jika menelaah pasal 55 UU Sisdiknas, sebenarnya masyarakat (termasuk masyarakat adat tentunya) berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya. Masyarakat juga berhak mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan. Namun pada pelaksanaannya tidak selalu demikian. Keterlibatan masyarakat hanya sebatas himbauan. Pada pelaksanaannya, pendidikan di Indonesia umumnya menggunakan cara pandang urban sebagaimana contoh tentang mesin cuci pada materi pelajaran anak-anak di Sumba.


Kondisi ini berdampak signifikan pada kepercayaan diri anak dan komunitas. Anak dan komunitas menjadi terasing dan tidak percaya diri untuk mengembangkan pengetahuannya. Hal ini juga mendorong perubahan lingkungan yang pesat karena bagaimanapun pengetahuan lokal berkontribusi besar pada penjagaan lingkungan setempatnya.


Pasal 55 UU Sisdiknas bisa menjadi peluang untuk menumbuhkan pengetahuan lokal. Namun, dibutuhkan perubahan cara pandang baik dari para pendidik yang terlibat, maupun dari dinas pendidikan daerah hingga di tingkat nasional. Juga dibutuhkan perbaikan sistem dan kebijakan pendidikan yang berpihak agar anak-anak dari masyarakat adat dapat tumbuh dengan merdeka, bangga dengan bahasa dan budayanya, serta percaya diri mengembangkan pengetahuannya.