Memantau sebagai Penanda Ruang Rimba

Penulis: Alberta Prabarini | Foto: Alberta Prabarini, Reza Arlianda, Taufik Hidayat

Memantau sebagai Penanda Ruang Rimba

Penulis: Alberta Prabarini | 27 Mei 2022

“Ee laa Ngembun, ee kami tengok di mika, ee kami la dengan ee Bereta…” (Ngembun, kami mau ke sana, kami bersama Berta).


Seruan tersebut keluar dengan berbagai ragam tangga nada khas Melayu dari bibir kecil Ngutir dan Begalai yang merupakan murid-murid Sokola Rimba, tepatnya di Rombong Malekat Mandi. Rencananya, kami hendak ke Nuaron Topang do Polay, tempat Ngembun dan keluarganya tinggal, untuk bertukar kabar sekaligus numpang mandi di sungainya. Mereka menyebutnya memantau, yakni memberi kabar dan bertanya pada tuan rumah yang dituju bahwa kita akan pergi ke rombong-nya. Biasanya memantau dilakukan sambil berjalan menuju lokasi rombong dengan jarak sekitar 200 meter sebelumnya dan secara berulang-ulang.

Ngutir Mantau.mp3

Memantau Sepanjang Jalan


Untuk mencapai Nuaron Topang do Polay, kami beberapa kali melewati aliran sungai kecil yang merupakan anak cabang dari Sungai Makekal dan itu membuat kaki kami kadang basah, kadang kering, kadang berlumpur. Pada kondisi seperti ini, melepas alas kaki merupakan pilihan yang sangat tepat. Kebetulan saat itu adalah Bulan November, bertepatan dengan masuknya musim buah di rimba yang diawali dengan munculnya durian ngempalo tupoy yakni durian yang ukurannya masih sebesar kepala tupai. Sehingga sepanjang perjalanan, jika kami lelah memantau karena membutuhkan tenaga perut untuk berteriak dan bersenandung, kami melihat-lihat buah dari pohon durian dan meramal-ramal kapan buah itu akan jatuh menyerahkan diri untuk kami makan.


Selain mengamati durian, Ngutir dan Begalai gemar bercerita tentang hantu-hantu di hutan, asal-usul nama rombong Malekat Mandi, serta beruang yang baru-baru ini menyerang Induk Mutor hingga Induk Mutor harus memanjat pohon. Begalai menunjukkan bekas cakaran beruang pada kulit pohon di depannya dan menjelaskan bagaimana Induk Mutor bisa lepas dari terkaman beruang. “Payu, awoa haruy teruy bececakop, beruang yoya penakut samo suara-suara,” jelas Ngutir memberi tips agar perjalanan kami aman dari serangan beruang. Menurutnya, beruang takut dengan suara sehingga kami harus terus berbincang selama perjalanan. Karena itulah Ngutir dan Begalai berganti-gantian memantau Ngembun. Nadanya begitu nyaman didengar, seperti suara seorang induk yang menidurkan anaknya dengan bubebong (senandung pengantar tidur). Sedangkan saya hanya bisa memantau dengan teriakan, pernah mencoba menggunakan nada namun notasinya sama sekali berbeda sehingga saya putuskan untuk berteriak atau bersiul saja.


Memantau dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya Ngutir yang memantau dengan bernyanyi, ada pula dengan bersiul dan mengucap sambil berteriak, dan juga biasanya dengan mengutus salah satu orang untuk menyampaikan kabar bahwa mereka akan bertamu. Saat rombong menerima suara pantau, mereka biasanya akan menerka siapa yang datang serta bersiap menyambutnya. Dari penuturan Mimbing, bujang asal Limbing, pantau tak hanya dilakukan saat akan ke suatu rombong, melainkan juga saat pergi ke sungai seperti, “Eee ado sapo di aik a? Dodoroy lah mikae, kamia ndok mandi!” (ada siapa di air? Cepatlah, kami ingin mandi!). Memantau dilakukan terutama saat kita mendengar ada riuh air dari kejauhan, maka harus menunggu sampai orang tersebut selesai mandi, baru kita yang selanjutnya turun ke sungai. Peraturan di kedua lokasi tersebut dirangkum dalam pata-pata adat yang berbunyi “ruma dibori beradat, tepian dibori bebeso”.

Ruma Dibori Beradat

Makna ruma dalam pata-pata tersebut mengacu pada rumah-rumah yang berkumpul di satu lokasi rombong Orang Rimba. Dalam rombong biasanya terdapat beberapa jenis ruma, yakni ruma godong (tempat pasangan pemimpin rombong), ruma lapay (tempat anak gadis), ruma bujang (tempat anak bujang), serta rumah anak-anak perempuan dari rombong tersebut yang telah berkeluarga. Ruma juga menjadi ruang bagi segala hal privat, seperti tidur, bedikir (berdoa), serta menyimpan harta berupa koin (kain) dan pakaian dewa dalam rupa bentol (gulungan kain yang digantung di atap kayu rumah).

Jika sudah masuk area rombong, pata-pata “ruma dibori beradat” menjadi semakin ketat, di mana banyak hal tabu yang pantang dilakukan oleh subyek tertentu. Contohnya jika tamu adalah laki-laki, maka ia dilarang keras untuk duduk bahkan menyentuh rumah budak lapay, begitupun sebaliknya. Dalam kasus lain, rumah yang memiliki bentol berisi pakaian dewa dikategorikan suci, tak boleh sembarang orang menyentuhnya terutama orang asing. Dalam praktiknya, tamu yang telah memantau dan ingin berbincang biasanya disambut di halaman rombong yang berada di dekat jalan lintasan umum. Di “ruang tamu” tersebutlah mereka akan berbincang dengan berdiri, jongkok, atau lesehan di lantai hutan.


Tepian Dibori Bebeso

Sementara itu, tepian yang dimaksud dalam pata-pata tersebut adalah segala jenis sumber air yang bisa digunakan untuk penghidupan sehari-hari seperti sumur, dam, dan terutama sungai. Dalam keseharian Orang Rimba, terdapat kebiasaan di pagi hari untuk mencibuk air guna memasak makanan maupun minuman berasa seperti teh atau kopi. Selain itu, di siang dan sore hari, mereka biasa mandi di tepian sungai atau di batu napol (jenis batu yang besar dan kokoh yang terdapat di dasar sungai dan biasa digunakan sebagai pijakan saat mandi).

Setiap rombong biasanya memiliki sumber airnya masing-masing, misalnya Rombong Pengelaworon akan menginduk pada aliran sungai Makekal Hulu bagian Kedundung Jehat. Walaupun sungai statusnya milik umum dan siapa saja boleh memanfaatkan, namun saat digunakan untuk mandi maka statusnya akan menjadi sangat privat. Negosiasi akan dilakukan melalui hasil memantau dari dekat jalan setapak menuju sungai. Maka dari itu, ekspresi “dodoroy lah mikae, kamia ndok mandi” (cepatlah kalian, kami ingin mandi) merupakan ungkapan yang sangat lumrah di keseharian. Begitu pula orang yang sedang mandi juga akan berusaha lebih cepat selesai mengetahui lokasi mandinya dibutuhkan orang lain. Biasanya akan dijawab dengan, “Awuu, kamia lah sodah…” (iya, kami sudah selesai).

Ruang di Rimba dan di Kota

Walaupun memang di rimba tak terdapat pintu untuk diketuk, namun Orang Rimba memiliki pemaknaan tersendiri akan batasan ruang-ruang di hutan sebagai tempat tinggalnya. Dalam aturan adat “ruma dibori beradat, tepian dibori bebeso”, terdapat dua ruang yang dijelaskan, yakni bagian rumah dalam rombong serta tepian dalam sumber air yang merupakan ruang inti di keseharian Orang Rimba. Namun, kognisi spasial Orang Rimba membagi hutan ke dalam ruang-ruang yang jauh lebih kompleks, seperti huma (kebun), tana peranaon (tempat melahirkan), tana pasoron (tempat orang meninggal), tana terban (lokasi dataran miring), ataupun hutan nini puyang (hutan suci yang digunakan untuk beribadah), dan lain-lain. Menariknya, seluruh ruang tersebut bisa digunakan oleh siapapun yang membutuhkan sekaligus memiliki fungsi serta batasannya masing-masing yang tertuang dalam peraturan adat dan dijalankan bersama.


Sementara pada masyarakat yang tinggal di kota besar, penegasan batasan ruang tidak bisa semata dilakukan melalui komunikasi verbal. Batasan-batasan tersebut diejawantahkan dalam bentuk pengukuran tanah, pengokohan dinding, serta sertifikat hak milik. Di sana, ada rombong yang memiliki rumah bertembok tinggi lengkap dengan halaman, ruang tamu, serta kamar mandi yang digunakan secara individual. Di daerah yang sama, terdapat pula rombong yang tinggal di jalanan dengan tidur beralas kardus karena tak memiliki akses atas properti yang layak.


Saya jadi teringat celetukkan dari salah seorang murid Kak Butet yang untuk pertama kalinya berkunjung ke kota besar, “Bu Guru, kalau ada rumah yang garasinya sangat luas, kenapa orang-orang yang tinggal di jalan tidak tidur di dalam sini saja?” Tak seperti Orang Rimba yang memandang hutan sebagai hak komunal dengan berbagai bentuk komunikasinya, upaya pemanfaatan ruang hidup bagi masyarakat kota terasa lebih rumit dan runyam.