Secuil Pengetahuan dari Lautan bernama Bahasa Konjo

Penulis: Muh Akbar Kurniawan | Foto: Imran Sentosa

Secuil Pengetahuan dari Lautan bernama Bahasa Konjo

Penulis: Muh Akbar Kurniawan | 16 Mei 2022

Saya tidak banyak merekam dan menulis tentang Orang Kajang dan bahasa Konjo yang dituturkannya.Terbilang dari tahun 2013 hingga 2015 saya tinggal di Kawasan Adat Kajang, hanya secuil yang dapat saya peroleh dari luasnya pengetahuan mereka.

Saya teringat kala September 2013, bulan ketiga saya bertugas mengajar pakalahaki (penggembala) baca-tulis dan hitung. Murid laki-laki kami memang hampir semuanya adalah penggembala, saya melihat aktivitas tersebut bukan sekadar mengurus dan menjaga ternak, tetapi bagian dari budaya Orang Kajang.

Kala itu bertepatan dengan musim tanam pertama, penggembala yang biasanya berkumpul di galung atau areal persawahan mulai beranjak menggiring kerbau-kerbaunya ke tepi hutan dan kebun-kebun dekat lokasi tersebut. Bulan ketiga merupakan bulan di mana saya mulai memahami bahasa Konjo dengan baik meski kadang-kadang masih terdengar kurang apik di telinga penutur Konjo. Seperti kejadian ketika kerbau-kerbau Rendy merusak tanaman dan rumah kebun milik Bodo Jaga. Tentu sebagai pemilik kebun, Bodo Jaga sangat marah atas kerusakan tersebut, meski dia tidak menuntut keluarga Rendy aktokkong (membayar ganti rugi).

Dalam perjalanan pulang setelah seharian menemani anak-anak menggembala, saya bertanya, “I Jaga Bodo sumpaek arengna, toh, pataya koko?” (Tadi itu Jaga Bodo, ya, yang punya kebun?) Sambil tertawa Kaluk menjawab, “Nariek, Pak, Jaga Bodo!” (Kok Jaga Bodo, sih, Pak!) Kemudian Tenri melanjutkan sembari membetulkan perkataanku, “Tala nikua ntu, Pak, Jaga Bodo, mingka Bodo Jaga.” (Tidak tepat, Pak, jika dikatakan Jaga Bodo, tetapi Bodo Jaga)

Kejadian itu kemudian menimbulkan kekeliruan saya tentang bahasa Konjo, lalu memunculkan pertanyaan dalam diri saya. “Apa yang salah dari Jaga Bodo? Mengapa Bodo Jaga?” Awalnya saya merasa mungkin ini kekeliruan dalam menyebutkan susunan nama saja. Ternyata tidak sesederhana itu, serupa kerumitan akan perdebatan antara bahasa dan dielek yang dibatasi garis tipis. Ini juga yang kemudian mewarnai bahasa Konjo. Beberapa linguis mengatakan dialek Konjo merupakan salah satu dari empat dialek yang menjadi bagian dari bahasa Makassar, dialek yang digunakan oleh Orang Kajang merupakan Konjo Pesisir. Di sisi lain, ada yang menyebutnya sebagai bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa Makassar pada umumnya.

Terlepas dari perdebatan itu, saya melihat ada sesuatu yang menarik dari penamaan Orang Kajang. Khususnya berkenaan dengan kata sapaan, saya melihat mereka menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarianisme, itu tercermin dari bentuk sapaan yang berlaku. Mereka tidak membedakan antara keluarga kandung dan bukan keluarga kandung, semuanya sama, yaitu seperti keluarga sedarah. Selama orang tersebut masih tinggal di dalam kawasan adat, maka dia adalah kerabat, adapun Orang Kajang yang mengemban tugas tertentu dalam struktur kelembagaan adat, memiliki sapaan sesuai jabatannya.

Malam itu, setelah seharian mengajar di tepi hutan, saya bercakap-cakap dengan Tungkak Nanro, ibu dari salah satu murid. Percakapan tersebut sedikit demi sedikit saya catat, setidaknya ada sekitar lima bentuk kata sapaan yang tersemat pada Orang Kajang sepanjang hidupnya. Saya mulai dari bentuk pertama, yakni kata sapaan berdasarkan siklus kehidupan. Sapaan-sapaan yang terkait dengan siklus kehidupan akan terus bergerak maju dan mengalami perubahan. Baik berdasarkan waktu, peristiwa, dan ritual yang menyertai penyandang sapaan tersebut.

Semua bayi yang lahir pada awalnya disapa buto untuk laki-laki dan combong untuk perempuan. Sapaan tersebut berdasarkan jenis kelamin dan alat kelamin yang dimiliki oleh si bayi. Ketika menginjak usia 6-7 tahun dan telah melewati ritual tompolok pada usia tiga tahun dan kalomba di usia lima tahun, anak tersebut disapa bendak, sebuah panggilan kasih sayang untuk anak-anak baik perempuan maupun laki-laki. Setelah memasuki usia belasan tahun, dan telah melalui ritual akkatterek, anak tersebut akan disapa dengan nama dirinya, seperti Kaluk, Nanro, Ombo, dan Bate.

Ketika beranjak dewasa, atau merujuk pada masa ketika telah menikah dan memiliki keturunan, seseorang disapa dengan sebutan amma jika laki-laki, selanjutnya diikuti nama anak pertamanya, seperti Ammangna Teu (Bapaknya Teu). Jika perempuan disapa anrong, kemudian diikuti nama anak pertamanya, seperti Anrongna Kaluk.

Kemudian saya menemukan bahwa, jika orang dewasa tersebut telah menguasai betul pasang atau pesan leluhur, maka akan disapa puto untuk laki-laki dan jakjak untuk perempuan, dan menjadi kandidat pemimpin adat yang disapa ammatoa (bohe amma) yang pantang disapa lagi dengan nama dirinya setelah melalui ritual paknganro anyuruk borong. Sedangkan perempuan, setelah disapa jakjak akan menjadi kandidat permaisuri ammatoa dalam struktur kelembagaan adat, bukan pernikahan yang disapa anronga (ta) ri pangi dan anronga (ta) ri bongkina, yang juga bertugas memilih dan melantik ammatoa berdasarkan kehendak tu rie arakna (Tuhan Yang Maha Esa).

Pada bentuk kedua, Orang Kajang disapa berdasarkan urutan kelahiran. Anak pertama disapa toa (sulung), anak kedua disapa tangnga (tengah), selanjutnya anak ketiga disapa lolo (muda), anak kedua dari terakhir disapa diki (kecil), kemudian anak terakhir disapa bungko (bungsu), sedangkan anak tunggal disebut tungkak, dan orang yang dituakan dalam sebuah keluarga disapa kaka. Adapun contoh penggunaan dari bentuk tersebut cukup menggabungkan kata sapaan dengan nama diri seseorang, seperti diki + nama diri, menjadi Diki Konak misalnya.

Selanjutnya saya mencatat bentuk sapaan yang unik yakni, berdasarkan ciri-ciri fisik. Orang yang memiliki perawakan tinggi besar disapa langkasak. Sedangkan orang dengan perawakan tinggi kurus disapa tambe. Lalu orang yang bertubuh sintal disapa bondeng. Adapun orang yang bertubuh pendek disapa bodo. Contoh penggunaan dari bentuk tersebut serupa dengan bentuk sapaan sebelumnya, misalnya bondeng + nama diri = Bondeng Sida atau Bodo Jaga.
























Menjelang tengah malam, percakapan kami sampai pada bentuk kata sapaan berdasarkan gelar. Bentuk ini digunakan untuk menyapa seseorang yang kebetulan mendapat tugas penting dalam struktur kelembagaan adat (Orang Kajang), maupun di luar kelembagaan adat (bukan Orang Kajang) atau mereka yang pernah memiliki tugas penting dalam melayani masyarakat. Seseorang yang mendapat tugas layaknya menteri dalam struktur kelembagaan adat disapa galla atau puk galla, kemudian sapaan ini disandingkan dengan jabatan spesifik yang diemban oleh orang tersebut, misalnya galla pantama yakni pemangku adat yang mengurusi bidang pertanian dan perbintangan.

Kemudian sanro digunakan untuk menyapa dukun baik yang memiliki keahlian dalam pengobatan maupun yang biasa membantu persalinan. Sementara pungkaha digunakan untuk menyapa seseorang yang memiliki keahlian tertentu atau pemimpin pada sebuah kelompok, mirip dengan punggawa atau mandor. Adapun mantang digunakan untuk menyapa seseorang yang telah telah purnatugas dari jabatan tertentu. Misalnya untuk menyapa mantan kepala dusun di dusun Pangi, maka dia disapa Mantang Pangi.

Terakhir saya mencatat sebuah bentuk sapaan yang sifatnya santai (casual). Purik dan kali. Purik atau purina dalam dialek standar Makassar (Lakiung) yang berarti paman atau bibi, sering digunakan remaja Kajang untuk menyapa pemuda-pemudi yang memiliki rentang usia tidak jauh berbeda darinya atau mereka yang secara usia telah matang untuk melangkah ke jenjang pernikahan, contoh penggunaannya “Nai nuurang, Purik?” (Kamu dengan siapa, Paman/Bibi?). Sedangkan kali atau cikali dalam dialek Lakiung memiliki arti sepupu, tetapi remaja Kajang memaknainya sebagi ces, agang atau parner sebagaimana yang digunakan oleh remaja Makassar, contoh penggunaannya “Apa nuhaju, kali?” (Apa yang kamu kerjakan, Kawan?).

Catatan di atas kemudian saya simpulkan bahwa dalam bahasa Konjo, jika diuraikan secara lengkap, setidaknya terdapat 30 bentuk kata sapaan yang bersifat fleksibel. Kata sapaan tersebut dalam distribusinya memiliki porsi yang setara baik laki-laki maupun perempuan. Setiap Orang Kajang, tanpa membedakan gendernya, bisa memiliki tiga atau lebih kata sapaan selama hidupnya, tergantung siklus kehidupan, pengetahuan, jabatan, dan opsi yang dipilih terkait sapaan tersebut dalam menyapa mitra tuturnya ketika bertutur sapa. Saya rasa pengetahuan tradisional seperti ini merupakan bagian kecil dari luasnya lautan pengetahuan yang dicerminkan oleh bahasa Konjo. Lalu mengapa banyak pihak mengaku peduli dengan Kawasan Adat Kajang tetapi menyepelekan bahasanya sebagai cermin budaya dan tutup mata ketika bahasa Makassar sebagai bahasa mayor menggeser bahasa Konjo di ranah penting yakni sekolah formal?